22.1.08

kafe rumah darmint

Suatu hari aku pernah memimpikan untuk punya kafe. Tempat di mana aku bisa menghabiskan waktu luangku bersama teman-teman. Ngobrol, ngopi, diskusi, ngerumpi. Atau bisa juga sendiri. Menikmati kopi, teh atau shake sambil melayangkan pandangan menikmati wajah-wajah lucu yang seringkali ada di sana. Tak jarang aku sanggup berjam-jam duduk di sebuah kafe. Karena di sana aku bisa rileks, mematung sendiri, mencari-cari ide dan inspirasi.

Di Jakarta yang padat dan penat ini, kita memang butuh jeda untuk relaksasi. Melemaskan otot-otot pikiran yang tanpa sadar kerap diekploitasi. Dan ngafe adalah salah cara untuk itu. Kafe yang bagus sanggup membuat kita rileks, nyaman, sambil menikmati keteduhan tata ruang yang indah, warna-warna yang serasi, atau alunan musik yang pas di hati. Dan tidak banyak kafe yang seperti itu.

Di Jakarta, orang nongkrong di kafe lebih karena dorongan gaya hidup, life style. Sehingga tidak heran jika banyak kafe yang sebenarnya tidak enak tapi tetep ramai. Liat saja Oh La La Thamrin. Praktis kalo gw bilang kafe tersebut tidak ada enak-enaknya. Tapi ia selalu ramai, bahkan terlalu ramai jika malam Sabtu dan malam Minggu. Semua karena dorongan life style, selain lokasi yang memang strategis.

Kini, keinginanku seakan separo terkabulkan. Aku diajak untuk mengelola kafe. Untuk nanganin programming dan public relation-nya. Hasratku untuk memiliki kafe seolah terpenuhi. Aku memang tidak memilikinya, tapi aku relatif punya otoritas untuk membuatnya menjadi seperti apa. Dan kini, sudah dua minggu kafe berjalan. Terlihat masih banyak butuh upgrade dan perbaikan. Mulai standar menu, tata ruang hingga layanan.

Tempat sebenarnya sudah bagus. Hommy dan nyaman. Cuma meja-kursi masih kurang. Apalagi kalo dipake event dengan jumlah di atas 50-an orang. Tapi masalah yang paling mengganjal terutama minuman serta kecakapan waitress dalam layanan. Beberapa minuman rasanya masih di bawah standar yang kuinginkan, selain tak jarang pengunjung menunggu lebih dari 10 menit untuk bisa menikmati pesanan. Tradisi lama yang dibawa para waitress, barista maupun dapur tampaknya masih belum hilang. Dan aku berharap bisa mengubahnya. Memang itu bukan sepenuhnya wewenangku, tapi aku selalu tidak sanggup melihat sesuatu dijalankan tidak secara benar dan maksimal. Toh owner pernah bilang, aku boleh melakukan "apa saja" yang dirasa bisa membuat kafe ini lebih maju. Tim cukup, modal juga ada. Praktis tidak ada alasan untuk tidak bisa membuat kafe ini meraih mimpi yang diinginkan.

Aku sebelumnya ragu apakah aku masih sanggup nanganin kerjaan ini. Karena pekerjaanku sudah terlalu banyak. Nyiapin naskah dan ngerjain editing Fresh Book, nanganin promosi Khatulistiwa Online, serta jalan-jalan urusan politik dan pergerakan. Tapi sepertinya masih. Toh aku tidak wajib dateng tiap hari. Aku hanya dateng kalo malem. Dan selebihnya aku tinggal berfikir tentang program, event dan strategi seperti apa yang bisa membuat kafe ini cepat dikenal dan dikunjungi.

Tidak seperti kafe-kafe bercorak urban yang umum di Jakarta, kafe ini lebih menarget segmen kalangan pekerja sosial, aktivis, seniman, intelektual. Ia juga bukan semata dimaksudkan untuk menjadi tempat nongkrong dan menghabiskan waktu luang, tapi juga ditujukan untuk pagelaran seni dan aktivitas kebudayaan. Bisa pameran lukisan, fotografi, diskusi, atau live music. Aku berencana untuk mengagendakan classic rock-an tiap malam sabtu dan top 40-an tiap malem minggu.

Selain itu, aku berharap bisa menggelar diskusi-diskusi, entah diskusi sosial, politik maupun ekonomi. Aku juga ingin meng- agendakan acara temu penulis, musisi, film maker, desainer atau pekerja-pekerja kreatif yang lain, untuk menjembatani kalangan yang sudah mapan/mahir dengan mereka yang baru belajar. Yang jelas, aku berharap bisa membuat kafe ini, yang oleh owner-nya dinamai Rumah Darmint, menjadi rendezvous kalangan pekerja kreatif--dan aktivis--di Jakarta.

1 comment:

  1. yuk datang rame-rame ke jl. tebet utara 1 no 8... ojo lali yo ...

    ReplyDelete