"The killer feature of Google’s new Chrome web browser – combined search and address bar – will conquer IE." demikian kalimat yang terpampang di kotak TheBigIdea Fastcompany.com.
Ya, baru-baru ini Google memang meluncurkan web browser. Chrome, demikian namanya. Oleh Google, Chrome diklaim lebih powerful ketimbang browser-browser yang ada sekarang, baik Internet Explorer (IE) maupun Firefox. Keunggulan Chrome, sebagaimana dikemukakan Google dalam release-nya, karena ia menyertakan banyak toolbar yang memudahkan pengguna. Chrome juga dibekali JavaScript baru, V8, yang membuat ia 'kompatible' dengan berbagai aplikasi web terbaru.
Aku sendiri belum mencobanya. Ketika menulis posting ini, aku sedang mendownload-nya. Tapi semoga kliam Google tidak berlebihan. Karena Firefox 3 yang aku pake sekarang menurutku sudah sangat powerful--dengan berbagai macam feature-nya. Kalo IE, maaf saja, aku memang hanya menggunakannya untuk mengakses KlikBCA. Jadi jika Chrome diprediksi akan menaklukkan IE, maka itu mungkin. Tapi apakah ia bisa lebih bagus dari Firefox? Aku belum yakin.
Di sini dulu, mungkin nantu akan melanjutkan review--setelah mencobanya. Jika kamu juga ingin mencobanya, silakan download Chrome di link ini.
4.9.08
chrome: google's browser
23.8.08
network effect
"Network can change the world. And in the network era, every node matters," kata Michael Dulworth dalam bukunya, The Connect Effect.
Selama ini, perubahan dalam sejarah sering dinisbahkan pada orang-orang besar yang jumlahnya hanya beberapa. Tapi awal abad 21 menandai tren perubahan yang digerakkan oleh massa. Dan network adalah kuncinya. Network memungkinkan orang-orang kecil, nobody, warga biasa, melakukan perubahan yang tak kalah signifikannya dengan perubahan yang dihasilkan oleh orang-orang besar.
Dalam 2-3 tahun terakhir ini, peran 'orang-orang biasa' dalam membentuk dunia masa depan kian menojol. Hal itu tak lain karena kian lazimnya pola networking. Banyak temuan lahir karena kekuatan networking. Linux adalah salah satu contohnya. Atau browser Mozilla--yang kedua-duanya dibangun dan disempurnakan oleh ribuan programmer dari seluruh dunia lewat skema networking (open source). Kini, untuk membuat sesuatu yang 'luar biasa' tidak lagi mensyaratkan kekuatan/kemampuan personal atau dana yang juga luar biasa. Cukup Anda cari teman yang tepat, maka Anda bisa melahirkan sesuatu yang mungkin 'luar biasa'.
Dalam dunia bisnis, skema networking sebenarnya sudah lama dikenal. Keberhasilan bisnis--khususnya dalam menghimpun klien dan order, sering ditentukan oleh kuat tidaknya network. Bahkan ada bisnis yang ujung tombaknya adalah network, yaitu multi-level marketing atau MLM. Namun network yang berkembang di abad 21 lebih dari itu. Network abad 21 punya kekuatan lebih dari sekedar dalam dunia bisnis dan komersial, tapi benar-benar sanggup mempengaruhi dan membentuk dunia (shaping the world).
Lihatlah apa yang terjadi di dunia maya. Kini, portal-portal yang paling banyak dikunjungi bukan portal-portal berita searah seperti Time, The Economist atau Newsweek, melainkan situs-situs social networking seperti Friendster, MySpace, Facebook, Youtube serta blog. Digg.com yang berbasis pada kontribusi anggota (citizen journalism) trafiknya mengalahkan New York Times. Di Indonesia, situs yang paling banyak diklik juga bukan Detik.com sebagaimana dipahami banyak orang, melainkan Kaskus.us--yang notabene juga berbasis 'citizen journalism'.
Saat ini, situs-situs web bukan hanya menempatkan pengunjungnya sebagai pembaca/reader tetapi juga melibatkannya sebagai content provider/writer. Istilah pembaca/reader pun bergeser menjadi pengguna/user. Dan inilah model yang berlaku dalam dunia Friendster, Facebook, blog atau Youtube--yang dalam dunia internet disebut konsep Web 2.0.
Berbeda dengan era Web 1.0 yang pernah mengalami kejatuhan, Web 2.0 boleh dikata kian eksis. Tiap tahun, pengguna Friendster, Facebook, Youtube atau blogger terus meningkat. Internet kini dipenuhi berbagai macam profil, foto, tulisan, lagu atau video dari para warga dunia maya. Mereka semua menyumbangkan gagasannya, karyanya--dan juga 'kenakalan'-nya via world wide web. Sampai-sampai, majalah TIME edisisi 2006 menobatkan kamu, yaa.. sekali lagi kamu (YOU) sebagai Person of the Year--sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Nah, apakah kamu ingin berbagung dengan komunitas YOU yang dinobatkan TIME sebagai Person of the Year? Jika iya, segera gabung di Friendster, Facebook, blog atau Youtube, dan upload karya-karya kamu di sana. Saat ini adalah era di mana network adalah pilihan yang paling masuk akal agar kita bisa ikut membentuk dan mempengaruhi dunia. "Network or die," demikian tulis Businessweek dalam salah satu laporannya.
18.8.08
get up, stand up
17 Agustus 1945. 63 tahun yang lalu, founding fathers kita lewat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan negeri ini. Dan seperti biasa, ultah kemerdekaan selalu dirayakan dengan berbagai cara: lomba, pagelaran, diskusi dan seterusnya. Aku sendiri menghabiskan malam 17-an dengan cara nonton pagelaran band Reggae di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ada banyak band yang tampil, kurang lebih belasan.
Namun di tengah semaraknya perayaan ultah kemerdekaan yang selalu berlangsung tiap tahun itu, tidak ada salahnya berefleksi sedikit. Apakah setelah 1945 kita memang sudah merdeka? Secara legal iya, tapi secara substansial sepertinya belum. Karena paska 45, masih banyak penindasan dan penjajahan yang menimpa bangsa ini. Baik oleh bangsa asing asing atau bangsa sendiri, baik oleh kapitalis asing maupun kapitalis pribumi.
Hingga saat ini, sebagian besar bangsa Indonesia masih terjerat dalam kemiskinan. Padahal kemerdekaan semestinya juga berarti kebebasan ekonomi atau kebebasan finsial (financial freedom) -- menurut penulis buku Rich Dad Poor Dad Robert Kiyosaki. Merdeka seharusnya berarti berdaulat bukan hanya secara politik, tetapi juga ekonomi--bahkan budaya.
Sementara sampai saat ini, kita boleh dikata belum berdaulat secara ekonomi. Lihat saja. Selain miskin, aset-aset bangsa ini juga banyak dikuasai asing. Freeport contohnya. Meski beroperasi di Indonesia dan mengeruk hasil bumi Indonesia, tapi ia bukan milik kita. Kita memang punya saham di sana, tapi hanya 9.28 persen.
Atau jika kita pengguna telpon seluler, harap diketahui bahwa sebagian besar uang yang kita bayarkan selama menggunakan jasa seluler juga tidak masuk ke kantong pemerintah atau bangsa Indonesia. Karena perusahaan-poerusahaan seluler sahamnya dikuasai bukan oleh Indonesia. Telkomsel mislnya. 35% sahamnya dikuasai Singtel Singapore. Trus Indosat, 40.8% dimiliki QTel Qatar--setelah sebelumnya dimiliki Singtel juga. Sementara Excelcomindo, praktis asing semua, di mana 83.8% dikuasai Indocel Holding Malaysia serta 16% milik Emirates.
Dalam proses pembangunan infrastruktur pun, tender-tender telekomunikasi selalu dimenangkan asing: Ericsson, Nokia-Siemens, Alcatel-Lucent, Huawei dan beberapa lagi yang lain. Menurut majalah T&T, dari anggaran belanja telekomunikasi yang pada tahun 2008 mencapai Rp 41 trilyun, yang dinikmati pemain lokal tidak sampai 1 persen. Ironis bukan? Seperti zaman VOC, hasil bumi dan uang kita disedot dan 'disumbangkan' kepada negara-negara yang sudah jauh lebih makmur dari kita.
Lalu sampai kapan ini berlangsung? Kita tidak tahu. Sampai para pemimpin negeri ini menyadarinya dan berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Dan agar para pemimpin menyadarinya, kita warga negara harus tidak boleh berhenti untuk berteriak membangunkannya. Seperti kata Bob Marley dalam salah satu lagunya yang dinyanyikan oleh salah satu band yang manggung di TIM,
Get up, stand up
Stand up for your right
11.8.08
alexander solzhenitsyn
Ia seorang komunis. Tapi diusir oleh penguasa komunis. Ia 'anti' kapitalisme. Tapi selama bertahun-tahun harus hidup di negeri kaum kapitalis. Itulah Alexandre Solzhenitsyn, sastrawan besar Rusia, sang penulis The Gulag Archipelago.
Ya, Solzhenitsyn adalah tokoh ikonoklastik. Ia pernah menolak penganugerahan Nobel--yang kelak ditiru Sartre. Ia dikenal 'sangat komunis', tapi dengan penuh keberanian mengkritik rezim komunis Stalin yang memang tidak manusiawi. Akibatnya, ia pun dijebloskan ke dalam penjara selama 8 tahun. Baru setelah Kruschev berkuasa, Solzhenitsyn dibebaskan. Namun keluar penjara tak lantas berarti kebebasan sepenuhnya. Karena dianggap bisa membahayakan lewat tulisan-tulisannya, tahun 1974 Solzhenitsyn dipaksa meninggalkan Rusia. Ia pergi ke Swiss, lalu ke Vermont Amerika Serikat hingga tahun 1994.
Minggu kemaren, 3 Agustus 2008, sang penulis gagah berani itu meninggal. Dalam usianya yang ke-89. Dalam ucapan belasungkawanya, perdana menteri Rusia, Vladimir Putin, menyatakan bahwa kematian Solzhenitsyn adalah sebuah kehilangan besar bagi Rusia. "Kita mengenang dia sebagai orang yang kuat, berani, dengan martabat luar biasa,” kata Putin.
Tentu Putin tidak melebih-lebihkan. Solzhenitsyn memang salah satu tokoh besar dalam sejarah Rusia. Lebih dari seorang sastrawan, ia adalah orang yang punya dedikasi terhadap negerinya, bangsanya--dan terutama kaum petaninya. "He was not simply a writer, but a visionary who would mend Russia," kata The Economist.
9.8.08
cuil.com
Satu lagi mesin pencari (search engine) telah lahir. Namanya lucu: cuil.com (baca: cool). Hal ini menambah daftar mesin pencari di dunia maya setelah Yahoo!, Google, MSN Search, Baidu dan beberapa lagi yang lain.
Dikembangkan oleh Anna Patterson, Russel Power dan Louis Monier yang ketiganya adalah mantan karyawan Google, Cuil mengklaim memiliki database web lebih banyak dari Google: 12O milyar halaman web. Ia--sekali lagi menurut klaimnya, sanggup melakukan search lebih banyak dari search engine mana pun. Dalam situsnya bahkan secara jelas para pendiri menyatakan kemampuan Cuil: three times as many as Google and ten times as many as Microsoft.
Apakah benar demikian? Aku sendiri tidak tahu. Tapi yang jelas, kehadiran Cuil dengan klaimnya yang melebihi kemampuan Google telah memicu kepenasaranan yang luar biasa di kalangan penggemar teknologi. Sehingga belum sampai satu bulan dilaunching, ia sudah meraih jutaan kunjungan dan menduduki peringkat 5000-an berdasar Alexa.com--sesuatu yang sulit dicapai oleh situs lain.
Berbeda dengan Google, Cuil menampilkan hasil pencariannya berdasar format layout tabloid--dengan keterangan situs yang lebih panjang. Sekilas desainnya memang lebih menarik ketimbang Google, namun menurutku kurang efektif. Karena mata dipaksa menyapu seluruh bidang monitor untuk melihat hasil pencarian, yang mana hal itu lebih melelahkan. Aku merasa tampilan pencarian Google tetap lebih enak dan efektif. Di sini aku menyadari kebenaran ucapan Craig Newmark, pendiri Craiglist, bahwa simple and functional is beautiful.
Tapi apa pun, gut luck untuk Cuil--yang diambil dari sebuah kata Irlandia yang berarti pengetahuan.
google earth: sang mata malaikat
"Get inside, get inside. Everyone can see you," teriak Marge Simpson ke suaminya, Homer Simpson, ketika ia menyadari bahwa orang-orang bisa melihat suaminya yang sedang telanjang di buaian tempat tidur gantung di luar rumahnya. Bukan melihatnya secara langsung, melainkan lewat Google Earth.
Yah, dengan Google Earth, kita memang bisa menyaksikan banyak belahan bumi. Entah itu Eropa, Amerika, Afrika atau Asia. Kita juga bisa menyaksikan kota-kota besar dunia: Paris, New York, London, Jakarta. Bahkan kita bisa menyaksikan atap dan halaman rumah kita, meski tidak sejelas Marge Simpson yang bisa melihat halaman rumah--beserta suaminya, karena itu hanya adegan dalam The Simpsons yang berbau sindiran--dan mengingatkan.
Jika kita ceritakan kepada orang-orang tua kita bahwa kita bisa menyaksikan berbagai belahan dunia cukup dari dalam rumah saja, tentu mereka tidak akan percaya. Karena banyak orang tua yang pasti tidak sanggup membayangkannya. Tapi itulah yang terjadi. Dunia sudah berubah, dan banyak orang yang tidak menyadarinya. Dulu, orang-orang juga tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan bisa bicara dengan orang yang ada di belahan bumi lainnya. Tiga dekade lalu pun, yang bisa bicara lintas benua lewat handphone sebagaimana sekarang hanya satuan-satuan khusus intelijen yang bisa dihitung jumlahnya. Namun kini, teknologi militer itu sudah bisa diakses siapa saja, termasuk kita--asal punya handphone dan sanggup membayar pulsanya.
Dan kini, satu lagi teknologi intelijen yang bisa kita nikmati. Teknologi satelit Google Earth, sang mata malaikat (the eye of angel) yang bisa melayangkan pandangan ke seluruh dunia. Ketika aku mencobanya pertama kali beberapa bulan lalu untuk melihat Jakarta, aku sungguh terkejut luar biasa. Karena gambaran Jakarta terlihat cukup jelas hingga sungai dan jalan-jalannya. Monas, HI, istana, DPR, Plaza Senayan, semua tampak cukup nyata. Atap kantor Fresh Book pun bisa terlihat, meski dengan kejelasan yang kurang nyata. Sungguh kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya. Satelit militer Indonesia pun sepertinya tidak bisa melakukannya. Tengok saja kasus jatuhnya pesawat Adam Air yang hingga kini tidak ketahuan rongsokannya.
Namun itu belum cukup. Google Inc. yang memiliki Google Earth berencana akan membuat peta detil kota-kota di Amerika, lengkap dengan bangunan-bangunan dan pusat perbelanjaannya. Setelah itu, konsumen bisa mendaftar untuk mendapatkan account agar bisa jalan-jalan di kota quasi-real-nya Google. Tanpa perlu beranjak dari dalam rumah dan kamar, kita--lewat avatar yang kita kendalikan dari komputer, bisa bebas keluyuran ke mana-mana, ngopi dan nongkrong di taman-taman yang ada di sana. Bahkan kita juga bisa janjian ama teman yang juga punya account--dan avatar--untuk ketemu di sebuah tempat atau kafe maya yang ada. Kita bisa ngobrol dan berceng- krama layaknya ketika telpon atau chatting, dengan avatar kita tampak di layar komputer sedang duduk berhadapan laiknya dua makhluk yang sedang berkencan, namun menyeruput kopi yang ada di kamar masing-masing, hehe...
Jika itu benar terjadi, maka itu akan mengubah cara hidup manusia. Mungkin jalanan akan sepi, karena semua orang asyik di depan komputernya. Kafe-kafe akan kosong, karena semua cukup ngopi di warung maya. Deal-deal bisa diselesaikan di sana, karena kita bisa bicara dan avatar kita bisa bertatap muka. Bahkan kita juga bisa menggoda avatar-avatar yang berlalu-lalang di jalan-jalan maya, jika kita tertarik terhadap salah satunya. Tanpa diketahui siapa orang di balik avatar itu sesungguhnya. Sungguh benar-benar akan menjadi Second Life kita, karena kita bisa punya diri yang lain (other self) di sana.
Tanpa bisa dielakkan, dunia nyata tampaknya memang akan mengalami pergeseran yang luar biasa dalam sepuluh tahun ke depan. Karena banyak hal yang bisa dipindahkan ke dunia maya. Dan setiap pergeseran, perubahan, selalu memiliki dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi menggembirakan, satu sisi meng- khawatirkan. Seperti Google Earth. Ia membuat kita lebih mudah memahami belahan dunia kita, namun juga menyisakan persoalan privasi di dalamnya. Jika Google--lewat layanan gratisnya saja bisa melihat atap rumah kita, jalanan kita, tentu ia bisa melakukan lebih dari itu lewat teknologi yang disembunyikannya. Mungkin ia benar-benar bisa melihat kita secara nyata ketika sedang jalan-jalan, sedang olah raga di lapangan, sedang berenang di pantai dan seterusnya. Melihat apa pun yang kita lakukan di alam terbuka.
Jika demikian halnya, maka jangan pernah berfikir tentang privasi dan kebebasan. Boleh jadi ia sudah tidak ada. Karena Google Earth bisa melihat dan mematai-mati kita kapan saja, lewat mata malaikatnya. Sehingga tidak heran jika Edward Felten, pakar masalah privasi dari Princeton University mengatakan bahwa fenomena ini boleh jadi merupakan masalah paling problematis sepanjang masa. "This presents perhaps the most difficult privacy issues in all of human history,” katanya, sebagaimana dikutip The Economist.
silicon valley
"Silicon Valley doesn't have better ideas and isn't smarter than the rest of the world, but it has the edge in filtering ideas and executing them," kata Sergey Brin, salah satu pendiri Google. Oleh karena itu, lanjut Brin, Silicon Valley mampu menyedot orang-orang kreatif untuk datang dan mempertaruhkan kemampuannya di sana.
Barangkali, apa yang dikatakan Brin memang benar. Silicon Valley memang pusat lahirnya temuan-temuan teknologi canggih dunia. Google bertempat di sana. Begitu juga Apple, YouTube, Intel, Yahoo!, Cisco, Adobe dan banyak lagi yang lainnya. Tapi sesungguhnya ia 'mungkin' bukan tempat bermukimnya ide-ide terbaik dunia. Karena ada banyak generasi di luar Silicon Valley atau di luar Amerika pada umumnya yang tampaknya tidak kalah cerdas dan briliannya.
Lihat saja Cina. Generasi Cina yang melek dan jago komputer tumbuh luar biasa. Di Cina ada Baidu.com, situs mesin pencari yang popularitasnya di Cina mengalahkan Google--yang merupakan satu-satunya kasus di dunia. Atau Indonesia. Anak-anak negeri ini mampu membuat IGOS (Indonesia Go Open Source), seperangkat software open source berbasis Linux yang tak kalah canggih dari temuan teknologi dunia. Dan baru-baru ini dikabarkan bahwa generasi kita juga sedang menyempurnakan WiMax versi Indonesia--teknologi komunikasi dan internet yang lebih canggih
dari 3G.
Namun kenapa yang sanggup berkembang dan mendunia masih saja temuan-temuan dan produk-produk yang dihasilkan anak-anak Silicon Valley?
Ada banyak penjelasan di sana. Silicon Valley yang berada di kawasan pantai bagian utara California itu boleh dikata merupakan inkubator terbaik dunia. Di sana ada Stanford Univeristy, yang berperan besar dalam melahirkan generasi cerdas dan kreatif Amerika. Sergey Brin dan Larry Page adalah lulusan sana. Di sana juga banyak perusahaan terkemuka yang siap menampung dan memberikan ruang eksperimentasi anak-anak muda. Dan buat mereka yang enggan bergabung dengan perusahaan-perusahaan yang ada dan memilih membangun bisnisnya sendiri, di sana ada cukup banyak perusahaan modal ventura yang siap mengucurkan dana buat ide-ide brilian mereka. Dan lebih dari itu, jaringan kreatif dan bisnis di sana sudah tercipta dan melembaga. Itulah yang tidak ada di belahan lain dunia, di tempat lain--termasuk Jakarta, Bandung, Jogja atau kota-kota lain di Indonesia.
Sebuah ide bisa tumbuh dan mengemuka jika mendapat lingkungan yang mendukung dan memadai. Jika tidak, ia akan bernasib seperti benih bagus yang tersemai di tanah gersang. Ia tidak akan bisa tumbuh dengan semestinya. Atau bahkan mungkin mati. Ada banyak anak cerdas dan kreatif di Indonesia--di mana aku berharap bisa selalu bekerja dengan mereka--yang pada akhirnya frustasi karena gagasannya tidak mendapatkan peluang dan kemungkinan untuk tumbuh. Akhirnya mereka pun menyerah, memilih hidup sebagaimana orang pada umumnya, ketimbang menggawangi ide cerdas mereka agar menjadi kenyataan.
Dan jika sudah begini persoalannya, maka itu kembali pada pemerintahannya. Jika pemerintah sanggup melahirkan kebijakan yang memungkinkan lingkungan seperti Silicon Valley tercipta, maka sebuah kota atau sebuah negara mungkin akan sanggup melahirkan generasi cerdas dan kreatif seperti Amerika. Bagaimana dengan Indonesia? Anda bisa menjawabnya.
6.8.08
butterfly effect
Tremors in one place can now cause trouble everywhere. Demikian diktum teori chaos. Hukum ini juga sering disebut dengan efek kupu-kupu, dengan tesisnya yang berbunyi, "Kepak sayap kupu-kupu di Afrika bisa mengakibatkan tornado di New York."
Efek kupu-kupu atau butterfly effect pada adasarnya adalah pemikiran yang menyatakan bahwa sesuatu yang kecil, sepele, remeh-temeh, seringkali bisa memiliki dampak yang luar biasa di tempat lain, di waktu yang berbeda. Sejumlah trend seringkali muncul dari hal hal-hal yang 'sepele'. Coba baca Tipping Point. Di mana segerombolan anak-anak penggemar skateboard bisa membuat sepatu yang old-fashioned menjadi terkenal dan digemari kembali.