11.11.07

another brick in the wall








Kemaren aku abis diskusi di rumah seorang teman di kawasan Cinere. Teman itu baru aja membikin sekolah alternatif untuk anak-anak tidak mampu, dan sudah jalan satu bulanan. Sudah dua kali aku ke sana, yang pertama kebetulan aku diminta bicara.

Sementara kemaren aku mengantar Pak Lody, dosen pendidikan di UNJ yang kebetulan sering kumpul bareng kami. Ia diminta bicara untuk seri kedua ini. Yang dateng lumayan. Ada orang dari Art of Living Foundation yang diketuai Rafi Shankar, komunitas outbond Pelita Desa Parung, serta guru-guru di sekolah alternatif itu.

Kami berdiskusi tentang banyak hal. Tentang model sekolah alternatif yang ideal, tentang guru, tentang cara mendidik yang benar dan seterusnya. Di Indonesia, itulah masalah-masalah krusial yang jarang dibicarakan--apalagi dipecahkan. Ketika kita bicara sekolah, yang diingat selalu bangunan dan fasilitas. Hardware. Sementara kapasitas guru, cara mengajar dan sejenisnya tidak. Padahal di situlah software yang memungkinkan pendidikan berjalan baik ato tidak.

Guru di negeri ini banyak yang tidak mumpuni. Selain gaji kecil yang tidak memungkinkan mereka meng-upgrade pengetahun diri, negara tidak punya program yang efektif untuk meningkatkan kemampuan guru. Sehingga tidak heran jika sekolah berlangsung rutin seperti biasanya. Jalan tapi tidak sampe ke mana-mana.

Implikasi dari tidak adanya peningkatan kemampuan guru menyebabkan metode mengajar itu-itu aja. Hanya meneruskan apa yang sudah biasa. Yang implikasinya membuat murid membuang umurnya untuk pengetahuan yang cuma segitu-gitu aja.

Dengan segala macam permasalahannya, kebanyakan sekolah di Indonesia sama sekali tidak mendidik murid untuk bisa berfikir kritis dan bermental produktif. Yang terjadi hanya menyalurkan pengetahuan, memorizing semata. Padahal yang terpenting adalah mengajarkan anak mampu berfikir sendiri, mengetahui kenapa sesuatu menjadi seperti adanya, how things work. Karena dengan metode menyalurkan pengetahuan dan memorizing semata seperti tak ubahnya menuangkan air ke botol, akan terjadi realitas di mana jika gurunya pengetahuannya cuma "sejengkal" maka muridnya juga akan berpengetahuan sejengkal.

Bahkan jika ada murid yang berfikir berbeda, kritis dan inovatif, tidak jarang guru justru menyalahkannya, mendiskreditkannya. Maka, lengkap sudah kemandegan pendidikan kita. Dan jika itu terus terjadi, maka benar apa yang pernah dinyatakan Pink Floyd, bahwa sekolah tak lebih dari "another brick in the wall". Lalu apakah kita juga harus nyatakan bahwa "kita tidak butuh sekolah" seperti Pink Floyd?

0 comments:

Post a Comment