30.12.07

Choosing Order Before Freedom










Choosing Order Before Freedom. Demikian majalah TIME memberi judul salah satu laporannya. Laporan itu tak lain adalah kesimpulan dari apa yang dilakukan Putin di Rusia.

Seperti biasa, TIME punya tradisi untuk menentukan sosok yang layak dipilih sebagai Person of the Year tiap akhir tahun. Dan yang terpilih untuk 2007 adalah Vladimir Vladimirovich Putin, presiden Rusia yang telah berhasil membawa negerinya bangkit dari keterpurukan sejak runtuhnya Soviet tahun 1989. "Putin telah berhasil meletakkan kembali Rusia dalam peta," demikian komentar pengantar TIME. Karena Putin, Rusia kini
menjadi negeri yang kembali diperhitungkan dalam peta serta pentas politik dan ekonomi dunia. Ia memang bukan demokrat, bukan figur dari kebebasan berbicara. "He stands, above all, for stability—stability before freedom, stability before choice, stability in a country that has hardly seen it for a hundred years," kata TIME.

Lahir di Leningrad 7 Oktober 1952, Putin adalah mantan anggota dinas rahasia Uni Soviet (KGB) yang menjadi saksi keruntuhan Pakta Warsawa. Ketika tembok Berlin runtuh, ia berada dalam kepungan demonstran di kantor cabang KGB di Berlin. Namun ia berhasil lolos dan selamat, sampai akhirnya dipercaya oleh Boris Yeltsin sebagai perdana menteri tahun 1999--dan kemudian pejabat presiden sementara ketika Yeltsin mundur tahun 2000. Pada pemilu Rusia Maret 2000, Putin mencalonkan diri dan berhasil memenangi pemilu dengan 52.94 persen suara.

Kini sudah dua kali Putin menjabat sebagai presiden. Dan dalam dua periode tersebut ia telah berhasil mendongkrak ekonomi Rusia, menaikkan jumlah kelas menengahnya, melepaskan Rusia dari jerat hutang IMF, serta menghidupkan kembali kekuatan militernya. Dan lebih dari segalanya, ia mampu menaikkan bargaining politik
Rusia terhadap dunia khususnya Amerika dan Eropa. Itu semua terjadi karena Putin punya visi yang tajam atas masa depan, tidak menerapkan demokrasi dan ekonomi liberal ala Indonesia yang justru membuat negara jatuh ke tangan bandit-bandit sosial, politik dan ekonomi yang tak terhitung jumlahnya.

Kita memang tidak menginginkan pemerintahan sentralistis dan totaliter ala Soeharto dulu, tetapi merayakan kebebasan dengan euphoria seperti hari-hari ini juga bukan jalan yang bijaksana. Karena yang diuntungkan hanya tikus-tikus politik dan ekonomi yang bisa membuat bangkrut negara. Apalagi, tidak seperti Putin yang berani mengambil alih aset-aset penting dan potensial dari tangan kaum kapitalis Rusia, Indonesia justru melakukan yang sebaliknya, menjual aset-aset penting yang dimiliki negara ke tangan kapitalis dunia. Jika hal ini terus terjadi, maka jangan pernah berharap kita punya kemampuan untuk bangkit menjadi negara yang makmur dan sejahtera.


0 comments:

Post a Comment