5.1.08

kota imajiner










Bertolaklah dari sana dan maju terus selama tiga hari ke arah timur, maka kau akan sampai di Diomira, sebuah kota dengan enam puluh kubah perak, patung-patung perunggu segala dewa, jalan-jalan bersalut timah, sebuah teater kristal, dan seekor ayam emas di atas menara yang setiap pagi berkokok.

Semua keindahan ini akan segera nampak akrab bagi para pengunjung, yang juga telah menyaksikannya di kota-kota lain. Tetapi kekhasan kota ini nampak pada mereka yang datang ke sana malam bulan September, tatkala hari-hari berjalan lebih pendek dan lampu-lampu aneka warna dinyalakan serentak di pintu-pintu kedai makanan serta suara perempuan yang menyeru "ohh!" dari sebuah teras.....

Demikian kutipan salah satu paragrap novel Kota-kota Imajiner karya penulis kenamaan Italia kelahiran Kuba, Italo Calvino. Mengambil latar percakapan sang petualang abadi Marco Polo dan Kaisar Mongolia Kubilai Khan, novel ini mengisahkan kota-kota yang dikunjungi sang petualang, kota-kota yang, saking 'absurd'nya, membuat kita bertanya-tanya apakah semua itu benar-benar ada.

Ketika harus menulis teks untuk cover belakang novel ini, aku sungguh merasa mengalami kesulitan. Karena tidak mudah untuk menjelaskan novel ini. Semua usaha untuk melakukannya tampaknya hanya akan berakhir sia-sia. Bukan semata karena gambaran kota-kota magis dan surealis yang ada di dalamnya, melainkan juga karena keindahan bahasa puitisnya. Akhirnya aku menemukan kalimat yang menarik--dan juga 'absurd' seperti novelnya: inilah novel dimana kemustahilan imajinasi bertemu dengan pasangan sempurnanya: kefasihan bercerita.

Buat mereka yang menyukai Mimpi-mimpi Einstein-nya Alan Lightman atau merasa memiliki imajinasi yang sempurna, maka kemungkinan besar akan menyukai novel ini. Karena novel inilah yang menjadi tonggak gaya penulisan ala Mimpi-mimpi Einstein. Dan karena hanya dengan mengembangkan imajinasilah kita bisa menikmatinya. Selamat membaca.

0 comments:

Post a Comment