15.4.08

no policy is bad policy

Menjelang Mei, seperti biasa, aku dihubungi sejumlah wartawan. Mereka hendak membuat laporan tentang reformasi. Tentang apa yang terjadi 10 tahun yang lalu, 1998, tahun di mana Soeharto mundur dari kekuasaannya, untuk kemudian menyandingkannya dengan kenyataan kini. Salah satunya wartawan dari Australia Network.

Seperti beberapa wartawan lain, Australia Network mengajukan pertanyaan yang relatif sama: bagaimana dulu proses reformasi terjadi--mulai dari situsasi sosial-ekonomi-politik hingga demo-demo. Lalu ia menanyakan apakah situasi hari ini sudah seperti yang dituntut dan diharapkan waktu demonstrasi. Jawabanku jelas: absolutely not. Not yet.

Waktu jaman demonstrasi, tuntutan kami jelas: Turunkan harga, Soeharto turun. Tentu ada beberapa isu lain seperti pencabutan dwifungsi ABRI, reformasi hukum dan birokrasi serta beberapa hal lainnya. Dalam tuntutan pertama, argumentasinya jelas. Waktu itu harga-harga naik, dan agar masyarakat sanggup melangsungkan hidupnya butuh diturunkannya harga-harga. Tuntutan turunnya harga juga bentuk ringkas dari tuntutan reformasi/perbaikan ekonomi. Sementara tuntutan kedua, argumen lebih jelas lagi. Soeharto, karena berbagai hal, memang tidak layak berkuasa lagi. Ia sudah berkuasa 32 tahun, melebihi kekuasaan raja-raja--yang meski menurut pakem seumur hidup namun tidak sampai 32 tahun karena pendeknya umur, dan selama 32 tahun berkuasa Soeharto menjalankan hukum tangan besi dan ekonomi kroni. Banyak orang dihukum dan dibunuh tanpa jelas kesalahannya, dan ekonomi terkonsentrasi pada keluarga dan kroni-kroni Cendana--lewat berbagai manipulasi dan korupsi.

Namun kini, 10 tahun setelah reformasi, keadaan tidak lebih baik.
Di luar urusan kebebasan politik dan berekpresi, kondisi barangkali lebih buruk. Ekonomi tidak beranjak lebih baik, lapangan kerja kian sulit, pendidikan makin mahal, dan sebagian besar masyarakat tetap miskin dan tanpa pengharapan. Dan yang membuat kian muak, para pejabat tetap korup, tak ubahnya jaman Orde Baru. Bahkan mungkin, tikus-tikus politik jaman sekarang lebih banyak dari jaman Orde Baru--karena menjamurnya partai-partai, dengan lahan jarahan yang merata dari pusat hingga daerah-daerah.

Semua itu terjadi karena pemerintah saat ini tidak jelas kebijakannya. Pada awal kampanye, ia gembar-gembor soal menghidupkan kembali sektor pertanian. Tapi sampai sekarang tidak jelas usaha dan realisasinya, padahal dunia tengah dihantui krisis bahan pangan. Ia juga gembar-gembor perang melawan korupsi, tapi semua tahu korupsi masih merajalela di mana-mana, termasuk lingkungan istana.

Dalam soal ekonomi, pemerintah lebih tidak jelas lagi. Kita nyaris tidak tahu apa kebijakan ekonomi pemerintah dan hendak ke mana negeri ini akan dibawa. Pemerintah seolah hanya ingin sekedar duduk di kursi nahkoda dan membiarkan angin membawa kapal ke mana aja. Alih-alih merevitalisasi pertanian dan kelautan yang relatif jelas kemungkinan dan harapannya, pemerintah justru mengemis utang dan investasi asing yang juga tak kunjung datang--dan dalam jangka panjang lebih punya potensi menjerumuskan.

Ya, boleh dikata pemerintah saat ini tidak punya kebijakan (no policy) sama sekali. Tidak memiliki gagasan dan leadership. Lihat saja kebijakannya soal Lapindo. Ribuan warga Sidoarjo kehilangan rumah dan sawah serta sedemikian menderita di kamp-kamp pengungsi, namun SBY nyaris tidak pernah komentar dan mengeluarkan kebijakan yang tegas soal Lapindo. Justru lucunya, di tengah kondisi yang parah ini (Lapindo, ibu-anak mati kelaparan, anak bunuh diri karena gak sanggup bayar sekolah serta kengerian-kengerian lainnya), presiden kita ini (presiden lo kalee...) lebih antusias rekaman musik, tersedu-sedu oleh film Ayat-ayat Cinta dan entah apa lagi berikutnya. Absurd. Kita tidak pernah mendengar presiden kita ini menangis karena hantu kelaparan dan kemiskinan yang menyelimuti warganya, tapi tiba-tiba karena sebuah film ia meneteskan air mata. Melo amat?! Heran. Entah apa yang bersemayam dalam kepalanya.

Kembali soal policy, terlihat SBY enggan mengambil kebijakan yang memicu konflik dan perlawanan. Karena tidak mau memicu konflik dengan Aburizal Bakrie, ia memilih diam soal Lapindo. Karena tidak berani konflik sama Bank Dunia dan IMF, ia memilih mengikuti jalan liberal dalam ekonomi. Karena tidak berani ditegur Amerika, ia tidak mau menegosiasi ulang kontrak-kontrak asing seperti Freeport dan lainnya--dan dengan enteng mengkuasakan Blok Cepu ke Exxon-Mobil. SBY juga sering tidak berani konflik dengan DPR, dengan cara tidak menghadiri rapat-rapat dengan DPR yang seharusnya ia hadiri: misalnya kasus BLBI.

SBY terkesan ingin "baik" sama siapa aja. Termasuk dengan para penjahat yang semestinya ia basmi. Kepekaannya terhadap citra diri yang berlebihan juga membuat ia memilih berkompromi, dengan harapan mendapat dukungan dari sana-sini. Seperti Mega dulu, SBY juga sering menggunakan jurus diam terkait masalah-masalah pelik yang bisa memicu konfrontasi dan kontroversi. Padahal kita tahu, diam tidak selalu emas. No policy is bad policy. Apalagi di tengah situasi Indonesia yang butuh tindakan dan terobosan.

0 comments:

Post a Comment