25.4.08

rezim kontrol

Pemerintah dalam halam hal ini Depkominfo berencana memblokir sejumlah situs. Pemicunya adalah film Fitna, yang dianggap memicu kontroversi. Film yang dibikin oleh anggota parlemen Belanda Geert Wilders itu dianggap menghina Islam. Dan sebagai akibatnya, sejumlah situs yang menyediakan file download film tersebut diblokir. Diantaranya YouTube dan Multiply. Namun beberapa hari kemudian dua situs tersebut bisa dikunjungi kembali, setidaknya hingga hari ini.

Aku tidak bisa membayangkan jika pemerintah memblokir situs seperti YouTube dan Multiply. Dua situs tersebut adalah salah satu favorit orang-orang yang ingin mengupload karya-karyanya--video di YouTube, dan musik serta tulisan/blog di Multiply. Jika kedua situs itu diblokir, maka akan ada ratusan ribu anak Indonesia yang kehilangan kesempatan untuk mengikuti dan menikmati kreativitas warga dunia. Dan hal itu juga akan membuat ratusan ribu--atau mungkin jutaan--anak Indonesia kehilangan apa yang sudah dia rintis berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, yaitu blog yang ia tulis di Multiply atau video yang ia upload di YouTube.

Niat untuk memblokir situs itu mengingatkan gw akan hasrat
kontrol rezim Orde Baru. Dulu, apa-apa dikontrol, diawasi. Dan yang dianggap "tidak pantas" dibredel, dilarang. Seolah-olah, pemerintah punya kuasa untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Argumentasi yang dikemukakan, yaitu memblokir maraknya pornografi serta pelecehan terhadap agama memang bisa diterima. Tetapi jalan yang ditempuh jelas tidak bisa diterima. Di YouTube memang banyak konten yang seksi, tetapi menurutku bukan porno. Apalagi YouTube sebenarnya juga sudah melakukan 'pengawasan' atas content di situsnya. Jika ada yang 'porno', biasanya akan didelete. Sementara di Multiply atau RapidShare, terlalu banyak content bermutu dan bermanfaat yang ada di sana. Sehingga jika pemblokiran dilakukan, maka itu sama saja dengan membakar rumah demi untuk melenyapkan seekor tikus.

memang, segala hal yang memicu kebencian dan kemerosotan mesti segera diatasi. Entah itu pelecahan terhadap agama atau pornografi. Meski menurut gw film Fitna biasa-biasa aja. Bahkan gw nyinyir waktu menontonnya--karena sebagai film jelek banget. Selain itu, apa yang oleh pemerintah sebagai porno seringkali menurut gw juga gak porno, hehe...

Namun terlepas dari relativitas penilaian atas apa yang layak disebut pelecehan dan pornografi, rencana pemerintah akan lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Alih-alih memblokir situs lewat ISP-nya, lebih baik pemerintah mendidik masyarakat agar dengan sendirinya melakukan proteksi atas dirinya sendiri--dengan mensosialisasikan penggunaan software kontrol dan sejenisnya. Pemblokiran jelas bukan penyelesaian.

Apalagi kalo mo jujur, sinetron dan film-film Indonesia banyak
yang lebih berbahaya ketimbang apa yang ada di YouTube atau Multiply, karena content-nya yang gak mutu dan gak mendidik--kalo bukan menjerumuskan. Sifatnya yang terbuka (ditayangkan televisi umum) membuat film dan sinteron lebih mempengaruhi perilaku remaja dan anak-anak ketimbang YouTube dan Multiply.

Jadi jika pemerinta memblokir YouTube dan Multiply, ada baiknya
ia juga memblokir sinetron-sinetron dan sejumlah tayangan tivi. Sehingga, lengkap sudah negeri ini mempersiapkan diri kembali ke rezim kebenaran, pengawasan dan kontrol ala Orde Baru.

0 comments:

Post a Comment