22.4.08

green campaign dan budaya latah

Minggu kemaren adalah hari bumi. Dan sejak tanggal 18, di
Parkir Timur Senayan diselenggarakan Green Festival. Acara ini dimaksudkan untuk kampanye penyelamatan bumi, menghambat laju pemanasan global, peningkatan kesadaran lingkungan. Berbagai acara digelar. Pameran kartun, seminar, workshop, pagelaran musik. Banyak yang bermanfaat, tapi banyak juga yang sekedar pertunjukan dan selebrasi.

Sebagaimana disadari oleh banyak kalangan, dunia memang kian dalam bahaya. Suhu makin panas, iklim tidak menentu, badai dan banjir tidak bisa diprediksikan. Gunung-gunung es di kutub mencair, yang dalam beberapa tahun disinyalir akan membuat air laut makin pasang dan menenggelamkan sejumlah daratan. Kiamat yang mungkin terjadi akibat pemanasan global secara piawai ditampilkan Al Gore dalam filmnya, An Inconvenient Truth.

Di mana-mana, banyak orang berkampanye pro-green. Berbagai
LSM membuat program anti global warming. Kampanye sana-sini, bikin acara tanpa henti. Namun apakah semua itu akan berhasil menyelamatkan bumi? Karena di sisi lain sebagian besar kita masih hidup dalam cara-cara yang merusak alam.

Banyak dari kita yang terkesan latah. Karena tokoh-tokoh dunia berkampanye anti global waming, kita jadi ikut-ikutan. Berbagai lembaga dibuat, beragam acara digelar. Namun seperti banyak program yang lain, ia sering hanya menjadi sekedar pertunjukan dan selebrasi. Karena gaya hidup di level pribadi tetap: pake AC, mobil pribadi dan seterusnya. Banyak dari kita yang ambivalen. Termasuk saya.

Kampanye memang jauh lebih mudah daripada mempraktekkan.
Dan kita lebih senang berkampanye ketimbang mempraktekkan. Banyak orang, misalnya, ikut gembar-gembor kampanye anti korupsi. Tetapi ia melakukan korupsi juga. Ngentit sana-sini, meski dengan skala yang lebih kecil. Namun anehnya, kita sering merasa pahlawan karena sebuah kebaikan kecil, padahal di sisi lain kita tetap melakukan perusakan--yang mungkin lebih besar. Kita memang ikut menanam satu dua-pohon, tetapi hal itu tidak sebanding dengan praktek hidup kita yang selalu pake mobil pribadi dan pake AC--dengan alasan tak punya pilihan. Lucunya, ada saja orang yang merasa telah sangat berpartisipasi hanya karena menanam satu-dua pohon.

Tapi begitulah kita, orang kota. Karena tidak pernah menanam pohon, maka ketika ikut kegiatan menanam satu-dua pohon, kita sudah merasa berada dalam pasukan penyelamat bumi. Kita merasa tindakan kecil itu sangat bernilai. Kita merasa heroik. Padahal buat orang kampung, menanam pohon--lebih dari kesadaran akan lingkungan--telah menjadi kebiasaan, menjadi way of life. Dan orang-orang kampung itu tidak pernah merasa menjadi pasukan penyelemat bumi.

Maka, jika benar kita ingin menyelamatkan bumi, kita harus menjadikan hidup pro-green sebagai way of life, yang kita batinkan dan kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar isu untuk kampanye atau tema untuk kegiatan. Karena jika tidak, jika kita tetap bersikap ambivalen, maka jangan berharap bumi ini akan selamat. Kita akan kalah. "Dan kita memang sudah kalah," kata novelis kocak asal Amerika, Kurt Vonnegut.

0 comments:

Post a Comment