1.5.08

ironi gus dur dan pkb

Barangkali, belum pernah ada masa yang sedemikian memalukan buat orang NU kecuali saat-saat ini. Partai yang mereka dirikan, PKB, pecah dua--setelah sebelumnya mengalami beberapa kali pemecatan dan juga perpecahan. Dan lebih dari soal perpecahan, konflik yang terjadi diwarnai dengan sejumlah nuansa kekerasan. Sesuatu yang tidak lazim dalam tradisi politik para santri dan kyai.

Ketika membaca detik.com kemaren, aku merasa sangat malu, juga muak. Di situ diberitakan bahwa dalam MLB PKB versi Gus Dur di Parung, nyaris terjadi kekerasan, di mana ada orang yang maju ke meja sidang hendak memukul Ketua DPW Sumut yang sedang berpidato. Sebelumnya, nuansa kekerasan juga terjadi di Jawa Timur. Kantor fraksi PKB Jatim diserbu dan diduduki oleh massa PKB pro-Yenni. Aura kekerasan juga terasa dengan dijaganya kantor DPP PKB oleh puluhan anggota Garda Bangsa--divisi pemudanya PKB, karena khawatir diserbu kubu Muhaimin.

Menyaksikan itu semua, terus terang sebagai anak muda NU aku malu bukan main. "Ini benar-benar memalukan," kataku pada beberapa temen yang juga berlatar NU. "Sama sekali tidak mencerminkan tradisi politik santri," imbuhku. Aku mengenal Gus Dur, juga Muhaimin, dan tak terfikir mereka terlibat dalam konflik yang sedemikian rendah dan memalukan.

Politik kekerasan sangat tidak lazim dalam tradisi santri. Ketika
aku kecil, santri identik dengan anak bersarung yang kerjaannya mengaji, dan sikapnya terhadap orang lain selalu lembut dan santun. Anak mbedik (nakal) sekalipun, jika sudah mengenakan sarung dan kopiah--yang merupakan atribut santri, akan cenderung lebih alim, menjaga sikap dan santun. Dan itulah bayangan yang ada di kepalaku tentang santri, atau tentang orang NU.

Maka ketika menyaksikan perpolitikan di PKB yang sama sekali
tidak mencerminkan kelembutan dan kesantunan, aku merasa mereka bukan orang NU. Bukan lagi orang NU. Karena mereka telah melanggar prinsip hidup bersama yang selama ini dipraktekkan para santri. PKB bukan lagi partainya kaum santri, karena tidak mencerminkan kelembutan dan kesantuan kaum santri. PKB sudah tidak ada bedanya dengan partai lain yang juga diisi oleh para preman dan bandit pemburu kekuasaan.

Dan ironisnya, semua perpecahan itu bersumber dari Gus Dur.
Tokoh yang di era 80-an dan 90-an sangat disegani dan menjadi ikon progresif di NU. Tokoh yang juga selama masa Orde Baru menjadi ikon perlawanan--lewat Forum Demokrasi-nya. Tokoh yang sanggup menjembatani NU dengan kelompok lain--terutama katolik dan Tionghoa karena sikap toleran dan pandangan pluralisnya.

Buat aku sendiri, Gus Dur adalah orang yang ikut membentuk duniaku hari ini. Kecemerlangan gagasan dan keluasan wawasannya membuat aku tertarik belajar ilmu-ilmu sosial--bukan hanya kitab kuning semata. Tanpa Gus Dur, tak terbayangkan aku mengenal dunia buku, tulis-menulis, pergerakan dan politik. Tanpa Gus Dur, kecil kemungkinan aku menaruh perhatian atas dunia, menjadi aktivis, atau kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarakara--yang notabene sekolah untuk para calon pastor katolik. Gus Dur berperan besar dalam melahirkan 'generasi hibrida' NU, generasi yang berani menerabas batas-batas dan pakem santri tradisional--di mana aku termasuk di dalamnya.

Namun hari ini, Gus Dur yang aku kenal sudah pergi. Gus Dur yang aku kagumi sudah mati. Entah karena apa. Mungkin karena stroke-nya. Atau mungkin dia memang sudah mencapai batasnya.

1 comment:

  1. Mungkin sudah saatnya Gus Dur lengser keprabon. Gak perlu lagi ikut cawe-cawe masalah kepartaian, apalagi kalau masih bersemangat untuk mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2009.

    Peran sbg guru bangsa mungkin akan lebih tepat utk beliau.

    ReplyDelete