18.8.08

get up, stand up









17 Agustus 1945. 63 tahun yang lalu, founding fathers kita lewat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan negeri ini. Dan seperti biasa, ultah kemerdekaan selalu dirayakan dengan berbagai cara: lomba, pagelaran, diskusi dan seterusnya. Aku sendiri menghabiskan malam 17-an dengan cara nonton pagelaran band Reggae di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ada banyak band yang tampil, kurang lebih belasan.

Namun di tengah semaraknya perayaan ultah kemerdekaan yang selalu berlangsung tiap tahun itu, tidak ada salahnya berefleksi sedikit. Apakah setelah 1945 kita memang sudah merdeka? Secara legal iya, tapi secara substansial sepertinya belum. Karena paska 45, masih banyak penindasan dan penjajahan yang menimpa bangsa ini. Baik oleh bangsa asing asing atau bangsa sendiri, baik oleh kapitalis asing maupun kapitalis pribumi.

Hingga saat ini, sebagian besar bangsa Indonesia masih terjerat dalam kemiskinan. Padahal kemerdekaan semestinya juga berarti kebebasan ekonomi atau kebebasan finsial (financial freedom) -- menurut penulis buku Rich Dad Poor Dad Robert Kiyosaki. Merdeka seharusnya berarti berdaulat bukan hanya secara politik, tetapi juga ekonomi--bahkan budaya.

Sementara sampai saat ini, kita boleh dikata belum berdaulat secara ekonomi. Lihat saja. Selain miskin, aset-aset bangsa ini juga banyak dikuasai asing. Freeport contohnya. Meski beroperasi di Indonesia dan mengeruk hasil bumi Indonesia, tapi ia bukan milik kita. Kita memang punya saham di sana, tapi hanya 9.28 persen.

Atau jika kita pengguna telpon seluler, harap diketahui bahwa sebagian besar uang yang kita bayarkan selama menggunakan jasa seluler juga tidak masuk ke kantong pemerintah atau bangsa Indonesia. Karena perusahaan-poerusahaan seluler sahamnya dikuasai bukan oleh Indonesia. Telkomsel mislnya. 35% sahamnya dikuasai Singtel Singapore. Trus Indosat, 40.8% dimiliki QTel Qatar--setelah sebelumnya dimiliki Singtel juga. Sementara Excelcomindo, praktis asing semua, di mana 83.8% dikuasai Indocel Holding Malaysia serta 16% milik Emirates.

Dalam proses pembangunan infrastruktur pun, tender-tender telekomunikasi selalu dimenangkan asing: Ericsson, Nokia-Siemens, Alcatel-Lucent, Huawei dan beberapa lagi yang lain. Menurut majalah T&T, dari anggaran belanja telekomunikasi yang pada tahun 2008 mencapai Rp 41 trilyun, yang dinikmati pemain lokal tidak sampai 1 persen. Ironis bukan? Seperti zaman VOC, hasil bumi dan uang kita disedot dan 'disumbangkan' kepada negara-negara yang sudah jauh lebih makmur dari kita.

Lalu sampai kapan ini berlangsung? Kita tidak tahu. Sampai para pemimpin negeri ini menyadarinya dan berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Dan agar para pemimpin menyadarinya, kita warga negara harus tidak boleh berhenti untuk berteriak membangunkannya. Seperti kata Bob Marley dalam salah satu lagunya yang dinyanyikan oleh salah satu band yang manggung di TIM,

Get up, stand up
Stand up for your right

0 comments:

Post a Comment