9.8.08

google earth: sang mata malaikat

"Get inside, get inside. Everyone can see you," teriak Marge Simpson ke suaminya, Homer Simpson, ketika ia menyadari bahwa orang-orang bisa melihat suaminya yang sedang telanjang di buaian tempat tidur gantung di luar rumahnya. Bukan melihatnya secara langsung, melainkan lewat Google Earth.

Yah, dengan Google Earth, kita memang bisa menyaksikan banyak belahan bumi. Entah itu Eropa, Amerika, Afrika atau Asia. Kita juga bisa menyaksikan kota-kota besar dunia: Paris, New York, London, Jakarta. Bahkan kita bisa menyaksikan atap dan halaman rumah kita, meski tidak sejelas Marge Simpson yang bisa melihat halaman rumah--beserta suaminya, karena itu hanya adegan dalam The Simpsons yang berbau sindiran--dan mengingatkan.

Jika kita ceritakan kepada orang-orang tua kita bahwa kita bisa menyaksikan berbagai belahan dunia cukup dari dalam rumah saja, tentu mereka tidak akan percaya. Karena banyak orang tua yang pasti tidak sanggup membayangkannya. Tapi itulah yang terjadi. Dunia sudah berubah, dan banyak orang yang tidak menyadarinya. Dulu, orang-orang juga tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan bisa bicara dengan orang yang ada di belahan bumi lainnya. Tiga dekade lalu pun, yang bisa bicara lintas benua lewat handphone sebagaimana sekarang hanya satuan-satuan khusus intelijen yang bisa dihitung jumlahnya. Namun kini, teknologi militer itu sudah bisa diakses siapa saja, termasuk kita--asal punya handphone dan sanggup membayar pulsanya.

Dan kini, satu lagi teknologi intelijen yang bisa kita nikmati. Teknologi satelit Google Earth, sang mata malaikat (the eye of angel) yang bisa melayangkan pandangan ke seluruh dunia. Ketika aku mencobanya pertama kali beberapa bulan lalu untuk melihat Jakarta, aku sungguh terkejut luar biasa. Karena gambaran Jakarta terlihat cukup jelas hingga sungai dan jalan-jalannya. Monas, HI, istana, DPR, Plaza Senayan, semua tampak cukup nyata. Atap kantor Fresh Book pun bisa terlihat, meski dengan kejelasan yang kurang nyata. Sungguh kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya. Satelit militer Indonesia pun sepertinya tidak bisa melakukannya. Tengok saja kasus jatuhnya pesawat Adam Air yang hingga kini tidak ketahuan rongsokannya.

Namun itu belum cukup. Google Inc. yang memiliki Google Earth berencana akan membuat peta detil kota-kota di Amerika, lengkap dengan bangunan-bangunan dan pusat perbelanjaannya. Setelah itu, konsumen bisa mendaftar untuk mendapatkan account agar bisa jalan-jalan di kota quasi-real-nya Google. Tanpa perlu beranjak dari dalam rumah dan kamar, kita--lewat avatar yang kita kendalikan dari komputer, bisa bebas keluyuran ke mana-mana, ngopi dan nongkrong di taman-taman yang ada di sana. Bahkan kita juga bisa janjian ama teman yang juga punya account--dan avatar--untuk ketemu di sebuah tempat atau kafe maya yang ada. Kita bisa ngobrol dan berceng- krama layaknya ketika telpon atau chatting, dengan avatar kita tampak di layar komputer sedang duduk berhadapan laiknya dua makhluk yang sedang berkencan, namun menyeruput kopi yang ada di kamar masing-masing, hehe...

Jika itu benar terjadi, maka itu akan mengubah cara hidup manusia. Mungkin jalanan akan sepi, karena semua orang asyik di depan komputernya. Kafe-kafe akan kosong, karena semua cukup ngopi di warung maya. Deal-deal bisa diselesaikan di sana, karena kita bisa bicara dan avatar kita bisa bertatap muka. Bahkan kita juga bisa menggoda avatar-avatar yang berlalu-lalang di jalan-jalan maya, jika kita tertarik terhadap salah satunya. Tanpa diketahui siapa orang di balik avatar itu sesungguhnya. Sungguh benar-benar akan menjadi Second Life kita, karena kita bisa punya diri yang lain (other self) di sana.

Tanpa bisa dielakkan, dunia nyata tampaknya memang akan mengalami pergeseran yang luar biasa dalam sepuluh tahun ke depan. Karena banyak hal yang bisa dipindahkan ke dunia maya. Dan setiap pergeseran, perubahan, selalu memiliki dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi menggembirakan, satu sisi meng- khawatirkan. Seperti Google Earth. Ia membuat kita lebih mudah memahami belahan dunia kita, namun juga menyisakan persoalan privasi di dalamnya. Jika Google--lewat layanan gratisnya saja bisa melihat atap rumah kita, jalanan kita, tentu ia bisa melakukan lebih dari itu lewat teknologi yang disembunyikannya. Mungkin ia benar-benar bisa melihat kita secara nyata ketika sedang jalan-jalan, sedang olah raga di lapangan, sedang berenang di pantai dan seterusnya. Melihat apa pun yang kita lakukan di alam terbuka.

Jika demikian halnya, maka jangan pernah berfikir tentang privasi dan kebebasan. Boleh jadi ia sudah tidak ada. Karena Google Earth bisa melihat dan mematai-mati kita kapan saja, lewat mata malaikatnya. Sehingga tidak heran jika Edward Felten, pakar masalah privasi dari Princeton University mengatakan bahwa fenomena ini boleh jadi merupakan masalah paling problematis sepanjang masa. "This presents perhaps the most difficult privacy issues in all of human history,” katanya, sebagaimana dikutip The Economist.

1 comment:

  1. keknya nggak secepat itu deh, mas. tetep aja orang perlu tatap muka, perlu sentuhan, perlu ngobrol langsung dan dengerin suara lawan bicara tanpa harus melewati beberapa instrumen elektris.
    apalagi yg benwitnya masih senen-kemis jumat-mati macem di indonesia.
    tapi saya setuju dengan satu hal: pada masanya nanti kebebasan hanya terletak diantara dua telinga.

    ReplyDelete