“Aku selalu memimpikan diri untuk menulis dan membaca, namun sekaligus menjadikan [praktek] menulis dan membaca itu kian mustahil.”
Medio 1999. Aku duduk sendiri di sebuah kafe di kawasan Salemba yang kini sudah tidak ada lagi, merenungi diri karena tidak pernah menulis lagi. Waktu itu Soeharto sudah turun, dan gerakan ‘
Sejak terlibat aktif di gerakan mahasiswa, aku hampir tidak pernah menulis lagi. Membaca pun jarang, kecuali buku-buku yang sedang aku edit.
Suasana kafe masih sepi, dan memang begitu pada hari-hari sebelumnya. Kafe itu kecil, dan baru. Namun aku senang duduk di situ, kadang sendiri dan kadang sama teman. Dalam sebuah kesempatan, aku bilang pada teman-temanku yang juga biasa nongkrong di situ, “aku berharap beberapa tahun lagi satu di antara kita bisa menjadi penulis besar.” Semua mengangguk-angguk, tertawa…
Yah, teman-temanku memang hanya bisa mengangguk-angguk sambil senyum-senyum tatkala aku dengan bersemangat bercerita tentang mimpi-mimpiku, harapan-harapanku. Mimpi dan harapan itu tidak selalu mimpi/harapan pribadiku, tetapi mimpi/harapan atas teman-temanku. “Namun saat ini yang terpenting bukan soal menjadi penulis besar, tetapi bagaimana kita tetap menulis,” imbuhku. Karena seperti dibilang Mario Vargas Llosa, “those who see success as their main goal will probably never realize their dreams.”
Kini, 9 tahun sudah saat itu berlalu, dan belum ada diantara kami yang menjadi penulis besar. Bahkan menulis pun tidak.
Aku lalu mencari penjelasan, dan tampaknya aku menemukannya: bahwa aku telah kehilangan ruang privat--karena terlalu sering hidup komunal bersama teman-teman. Tentu kamu tahu, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Virginia Wolf ketika mengomentari minimnya penulis-penulis perempuan, betapa pentingnya ‘ruang privat’ bagi seorang penulis. Ide—dan narasi tak ubahnya makhluk manja yang hanya datang di saat ia diberi sejenis kemewahan, entah itu keheningan atau suasana nyaman.
Lalu, hal kedua yang membuatku tidak lagi menulis adalah karena aku tidak pernah lagi membaca. Kamu tentu tahu, menulis bukan semata persoalan ide tetapi juga
Saat ini, untuk ke sekian kalinya, aku sedang belajar membaca, seperti ketika aku belajar ‘membaca dan menulis’ pertama kalinya di Yogya. Dan dalam tahap belajar ini, aku berharap menemukan bacaan yang menggugah, indah, di mana aku tidak mendapatkannya dalam literatur bahasa
Kembali mengingat soal Kafe, aku kadang bermimpi
Padahal, pernah ada masa di
Novelis pun begitu. Mereka menulis lebih untuk mengejar nama dan popularitas semata: eksistensi kaum terbelakang. Aku menemukan banyak sekali para penulis muda sekarang yang tidak sungguh- sungguh ingin menjadi penulis besar, karena mereka jarang membaca.
Dan akhirnya, sampai di sini dulu tulisan ini, sebelum ia menjadi sumpah serapah atas kenyataan yang sepenuhnya di luar angan dan impian. Sebagai penutup, aku ingin mengutip puisi Jorge Luis Borges yang mungkin kamu pernah baca,
Di lereng panjang malam hari
Di tapal batas dini hari
Aku mencari kata-kata
Untuk bulan, untuk maut, untuk pagi…
0 comments:
Post a Comment