13.11.07

on writing









“Aku selalu memimpikan diri untuk menulis dan membaca, namun sekaligus menjadikan [praktek] menulis dan membaca itu kian mustahil.”

Medio 1999. Aku duduk sendiri di sebuah kafe di kawasan Salemba yang kini sudah tidak ada lagi, merenungi diri karena tidak pernah menulis lagi. Waktu itu Soeharto sudah turun, dan gerakan ‘massa’ mahasiswa di mana aku terlibat di dalamnya kian hari kian aku rasa kehilangan signifikansinya. Saat itulah, untuk pertama kali, aku menyadari bahwa aku harus mulai menulis—dan membaca lagi.

Sejak terlibat aktif di gerakan mahasiswa, aku hampir tidak pernah menulis lagi. Membaca pun jarang, kecuali buku-buku yang sedang aku edit. Ada beberapa buku yang sempat aku sentuh dalam sebulan, namun tidak pernah sampai pada kesimpulan. Menulis juga begitu. Hanya beberapa tulisan yang aku buat, dan itu pun jauh dari memuaskan. Karena semua atas dasar permintaan, bukan bersumber dari kegelisahanku sendiri atas sebuah ide/gagasan.

Suasana kafe masih sepi, dan memang begitu pada hari-hari sebelumnya. Kafe itu kecil, dan baru. Namun aku senang duduk di situ, kadang sendiri dan kadang sama teman. Dalam sebuah kesempatan, aku bilang pada teman-temanku yang juga biasa nongkrong di situ, “aku berharap beberapa tahun lagi satu di antara kita bisa menjadi penulis besar.” Semua mengangguk-angguk, tertawa…

Yah, teman-temanku memang hanya bisa mengangguk-angguk sambil senyum-senyum tatkala aku dengan bersemangat bercerita tentang mimpi-mimpiku, harapan-harapanku. Mimpi dan harapan itu tidak selalu mimpi/harapan pribadiku, tetapi mimpi/harapan atas teman-temanku. “Namun saat ini yang terpenting bukan soal menjadi penulis besar, tetapi bagaimana kita tetap menulis,” imbuhku. Karena seperti dibilang Mario Vargas Llosa, “those who see success as their main goal will probably never realize their dreams.”

Kini, 9 tahun sudah saat itu berlalu, dan belum ada diantara kami yang menjadi penulis besar. Bahkan menulis pun tidak.

Ada banyak hal yang melatari kebuntuan itu. Pada saat itu, sebenarnya aku merasa kemandegan itu akan segera berakhir. Namun ternyata ia menjadi penantian yang panjang, lebih panjang dari yang aku kira. Aku merutuki diri, merutuki nasib, memaki kelesuan dan kemalasanku. Tapi kebuntuan itu tidak juga pergi. Aku pernah kemana-mana membawa tape recorder, mengantisipasi kalo-kalo ada ide yang datang aku bisa langsung merekamnya. Namun itu tidak berhasil. Lalu aku menggantinya dengan buku notes, lalu laptop, PDA, dan tetap tidak berhasil. Seperti ikan yang seakan tahu kalo dirinya akan dijaring, begitu juga dengan ide/gagasan itu. Ia enggan datang justru ketika aku menyiapkan perangkapnya.

Aku lalu mencari penjelasan, dan tampaknya aku menemukannya: bahwa aku telah kehilangan ruang privat--karena terlalu sering hidup komunal bersama teman-teman. Tentu kamu tahu, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Virginia Wolf ketika mengomentari minimnya penulis-penulis perempuan, betapa pentingnya ‘ruang privat’ bagi seorang penulis. Ide—dan narasi tak ubahnya makhluk manja yang hanya datang di saat ia diberi sejenis kemewahan, entah itu keheningan atau suasana nyaman.

Lalu, hal kedua yang membuatku tidak lagi menulis adalah karena aku tidak pernah lagi membaca. Kamu tentu tahu, menulis bukan semata persoalan ide tetapi juga gaya, style, diksi, eloquence of speech. Dan aku sudah kehilangan itu semua, karena kurangnya membaca.

Saat ini, untuk ke sekian kalinya, aku sedang belajar membaca, seperti ketika aku belajar ‘membaca dan menulis’ pertama kalinya di Yogya. Dan dalam tahap belajar ini, aku berharap menemukan bacaan yang menggugah, indah, di mana aku tidak mendapatkannya dalam literatur bahasa Indonesia. Di luar karya Pram dan beberapa karya non-fiksi dari sejumlah kecil penulis, aku tidak lagi berminat dengan buku-buku berbahasa Indonesia. Padahal kamu tahu betapa gembiranya [kita] tatkala menjumpai buku yang benar-benar layak baca. Baik karya hari ini atau karya masa lalu. Karena seperti dibilang Descartes yang pernah aku sitir di tulisanku sebelumnya, "reading of good books is like conversation with the finest men of the past."

Kembali mengingat soal Kafe, aku kadang bermimpi Indonesia seperti Perancis, di mana kafe-kafe sangggup melahirkan [mendukung lahirnya] sejumlah penulis besar: Sartre, Simone de Behaviour, Andre Malraux, Gide, Foucault, Derrida dan seterusnya. Namun apa mau dikata, di sini kafe tidak seperti di Perancis atau seperti di Inggris abad 18—seperti yang diceritakan Defoe, yang menjadi ‘ruang publik’ di mana segala macam ‘perbincangan’ terjadi, mulai politik, sastra hingga kehidupan sehari-hari. Di sini, kafe hanya melahirkan sekelompok generasi pseudo-bourgeois yang hanya tahu relaksasi dan senang-senang, di mana di tingkat tertentu aku termasuk di dalamnya: leisure class. Atau menyitir kalimat keras dari seorang teman, "kafe di sini hanya ngelahirin perek doang, haha..."

Padahal, pernah ada masa di Indonesia, di mana kehidupan intelektual dan suasana berfikir cukup hidup dan berkembang. Yaitu ketika generasinya Soekarno-Hatta-Sjahrir-Tan Malaka, dan ketika masa majalah Prisma sedang jaya--di mana ada Ignas Kleden, Mahbub Junaedi, Daniel Dakhidae dan kawan-kawannya. Namun masa itu sudah berlalu, dan kini yang tersisa hanya sejenis pragmatisme intelektual yang berujung pada pencapaian kekuasaan: intelektual-intelektual tukang. Tidak lebih dari itu.

Novelis pun begitu. Mereka menulis lebih untuk mengejar nama dan popularitas semata: eksistensi kaum terbelakang. Aku menemukan banyak sekali para penulis muda sekarang yang tidak sungguh- sungguh ingin menjadi penulis besar, karena mereka jarang membaca.

Dan akhirnya, sampai di sini dulu tulisan ini, sebelum ia menjadi sumpah serapah atas kenyataan yang sepenuhnya di luar angan dan impian. Sebagai penutup, aku ingin mengutip puisi Jorge Luis Borges yang mungkin kamu pernah baca,

Di lereng panjang malam hari
Di tapal batas dini hari
Aku mencari kata-kata
Untuk bulan, untuk maut, untuk pagi…

0 comments:

Post a Comment