1.1.08

tahun baru yang penuh paradoks

Perayaan awal tahun baru aja lewat. Meski hujan sempat turun, tapi itu tidak menyurutkan warga Jakarta untuk merayakannya. Ribuan orang turun ke jalan-jalan. Bermobil, bersepeda motor, bahkan tidak jarang yang jalan kaki. Mereka mendatangi lokasi-lokasi tempat diadakannya perayaan awal tahun: Monas, bundaran Hotel Indonesia, Ancol dan beberapa tempat yang lain. Ribuan kembang api diluncurkan, sekaligus berton-ton timbal yang dikeluarkan oleh knalpot-knalpot yang meraung kesetanan.

Sementara di tempat lain, ribuan orang rumahnya kebanjiran. Lampu mati. Tubuh menggigil kedinginan. Kita bisa bayangkan, bagaimana melewati malam dengan lampu mati, tubuh menggigil dan air bergolak di sekeliling kita. Tidur gak bisa, bahkan mengontrol anak-anak pun sulit. Apalagi jika punya anak yang masih kecil-kecil. Namun itulah yang dialami warga Bojonegoro dan sekitarnya di malam tahun baru ini.

Aku gak tahu. Sudah beberapa tahun ini kita dilanda bencana yang seolah tanpa henti. Dan hebatnya nyaris selalu terjadi di awal tahun. Awal 2005 Aceh kena tsunami. Awal 2006 Jogja dilanda gempa. Awal 2007 pesawat Adam Air jatuh dan lenyap, selain Aceh dan beberapa tempat di Sumut--juga Jakarta--dilanda banjir. Dan awal tahun ini, ganti daerah di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang mendapat gilirannya.

Tahun baru kita tampaknya memang tak lepas dari paradoks. Paradoks, karena seharusnya ia menjadi saat yang menggembirakan, tetapi sebaliknya justru menjadi momen yang mengenaskan. Maka berbahagialah mereka yang bisa merayakan kegembiraan di tahun baru ini. Tanpa harus lupa bahwa ada ribuan orang lain yang tak bisa menikmatinya.

0 comments:

Post a Comment