8.5.08

mengkambinghitamkan subsidi bbm

BBM akan naik. Rakyat pun mesti siap mengarungi kehidupan yang lebih berat.

Setelah sebelumnya beberapa kali menyatakan tidak akan menaikkan BBM, minggu kemaren SBY menarik omongannya. BBM akan dinaikkan, hanya besarannya yang masih diperhitungkan. Alasannya harga minyak menembus angka $120 per barel dan cenderung masih akan naik terus. Kalo BBM tidak dinaikkan, APBN akan jebol. Karena subsidi bisa mencapai angka 200 triliun. Padahal APBN kita hanya 890-an triliun.

APBN jebol? Mungkin. APBN defisit? Sudah dari kemaren. Dan semua juga sudah tahu. Semua sudah tahu bahwa APBN kita defisit. Semua juga sudah tahu bahwa harga minyak dan pangan dunia cenderung naik, yang bisa membuat APBN Indonesia dalam bahaya. Tapi apa lantas semua itu mensahkan pemerintah untuk menaikkan BBM? Tidak!

Kenapa? Karena pemerintah nyaris tidak berbuat 'apa pun' untuk mengatasi defisit APBN. Ada banyak sumber pemasukan yang mamsih bisa dikejar, tetapi pemerintah tidak melakukannya. Pemerintah lebih memilih menisbahkan kesalahan pada subsidi. Padahal sudah menjadi tanggungjawab negara untuk mensubsidi rakyatnya apabila rakyat masih tidak mampu.

Selama 4 tahun berkuasa, kita tidak melihat pemerintah berbuat semestinya untuk meningkatkan ekonomi atau memecahkan masalah defisit APBN. Mereka selalu mengikuti apa yang sarankan IMF: deregulasi ekonomi, privatisasi aset negara, membuat undang-undang yang pro-modal, dan sejenisnya. Beberapa kali kita juga mendengar pejabat DPR meminta kenaikan tunjangan dan gaji, korupsi yang masih merebak di sana-sini, gaya hidup pejabat yang melebihi pemimpin negara maju, atau pejabat BI yang uang saku kunjungannya mencapai ribuan dolar per hari. Singkatnya, mereka menghamburkan uang negara (APBN) yang sudah defisit itu.

Tapi itulah pejabat kita, negeri kita. Sekarang persoalannya adalah kita menghadapi fakta yang tidak bisa dielakkan. Minyak yang menembus angka $120 per barel. Apa yang mesti diperbuat? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama adalah meningkatkan pemasukan pajak. Dalam APBNP, penerimaan pajak ditargetkan Rp 609,2 triliun. Semestinya, penerimaan pajak bisa lebih dari itu. Ada banyak potensi penerimaan pajak yang masih bisa kejar. Buktinya, dalam proses revisi dari APBN ke APBNP, ada tambahan Rp 9 triliun yang tiba-tiba masuk, yakni dari penerimaan pajak penghasilan (PPh). Ini aneh. Jika memang ada Rp 9 triliun yang semestinya ada, mengapa ia tidak dimasukkan dalam rancangan APBN dan baru dimasukkan ketika APBNP? Seolah ada upaya pemerintah untuk menyembunyikan potensi pemasukan. Entah untuk tujuan apa.

Tentu, meningkatkan pemasukan pajak baru bisa dilakukan jika departemen perpajakan relatif bersih dan bisa diandalkan. Sementara umum diketahui bahwa departemen pajak adalah sarang siluman yang paling sulit didikte dan diawasi. Bahkan BPK pun tidak sanggup mengauditnya. Dalam konteks ini dibutuhkan komitmen dan ketegasan SBY dalam upaya mereformasi departemen pajak, bukan semata untuk kepentingan jangka pendek mengejar pemasukan 2008, tetapi untuk membangun fondasi peningkatan pemasukan pajak di masa yang akan datang.

Selain itu, maksimalisasi pajak juga bisa dilakukan dengan bertindak tegas terhadap para pengemplang pajak. Ada banyak pengusaha kelas kakap pengemplang pajak di negeri ini, yang jika orang-orang seperti itu dikejar dan ditindak tegas, maka pemasukan negara dari pajak akan meningkat. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? Nyaris tidak ada pengusaha pengemplang pajak yang ditangkap. Misalnya Sukanto Tanoto, pemilik Asian Agri yang disinyalir mengemplang pajak lebih dari Rp 1 triliun. Alih-alih bertindak tegas terhadap para pengusaha seperti Sukanto Tanoto, penguasa di negeri ini memilih 'menginjak kaki' sang pengusaha agar setor ke kantong pribadi atau kelompok--demi pembiayaan politiknya.

Rusia adalah contoh yang baik dalam soal ini. Begitu Putin berkuasa, yang dilakukan pertama kali adalah memburu dan menangkap para pengusaha yang dianggap memanfaatkan situasi krisis 1998-2000 untuk memperkaya diri. Salah satu yang ditangkap adalah bos perusahaan minyak kedua terbesar di Rusia, Yukos, Mikhael Khodorkovsky. Khodorkovsky ditangkap dengan tuduhan melakukan penggelapan pajak, sebuah tindakan yang lazim di kalangan pengusaha Rusia--dan juga Indonesia, dan kemudian Yukos-nya diambil alih pemerintah. Dengan kata lain, Rusia berusaha menasionalisasi aset-aset pengusaha korup--yang oleh Putin disebut sebagai oligarch atau orang-orang yang menggunakan kekuasaan untuk memupuk kepentingan dan kekayaan pribadi.

Indonesia, jika memang presidennya punya nyali, tentu bisa melakukan hal ini. Ada terlalu banyak pengusaha bermasalah di negeri ini, dan bukan hal yang sulit untuk membuktikan kejahatan mereka. Tapi problemnya SBY bukan Putin. Meski ia sama-sama tentara. Putin berani menghadapi para pengusaha yang berkuasa atas uang tersebut, sementara SBY memilih berdamai--dengan harapan sang pengusaha mendukung tujuan-tujuan politiknya. Padahal jika itu dilakukan, akan ada peningkatan yang signifikan dalam pemasukan APBN.

Hal kedua selain maksimalisasi pajak adalah efisiensi anggaran. Belanja negara dalam APBNP 2008 sebesar Rp 696,7 untuk pemerintah pusat dan Rp 292,6 untuk belanja daerah. Saat ini, pemerintah sudah berusaha melakukan efisiensi dengan cara memangkas 15 persen anggaran sejumlah departemen--yang menimbulkan banyak komplain pejabat yang bersangnkutan. Namun itu belum cukup. Efisiensi masih bisa ditekan hingga 20-25 persen, karena disinyalir sebagian anggaran selama ini tidak tepat sasaran dan dikorupsi.

Jika pemerintah selalu menuntut rakyat untuk mengetatkan ikat pinggang, maka mereka juga mesti melakukannya. Karena apa? Karena perilaku pejabat kita tidak mencerminkan bahwa negeri ini sedang menghadapi kebangkrutan. Mereka tetap saja menuntut kenaikan gaji, tunjangan ini-itu, studi banding kesana-kemari tanpa hasil dan sejenisnya. Berkali-kali pejabat menyatakan bahwa APBN kita defisit dan bisa jebol, tapi perilaku dan gaya hidup mereka tidak menunjukkan bahwa mereka peduli dengan hal itu. Mereka tetap saja menghambur-hamburkan uang--dan korupsi. Kita lihat saja. Hampir tidak ada APBD yang bebas dari pencurian. Bahkan dana untuk sekolah (pendidikan) pun dikorupsi.

Jadi sebelum pemerintah membebankan naiknya harga minyak dunia ke rakyat, sudah semestinya mereka membebankan itu pada dirinya sendiri. Dengan efisiensi dan keseriusan membangun pemerintahan yang bersih. Jika hal itu belum dilakukan, pemerintah tidak punya legitimasi moral untuk menaikkan BBM.

Hal ketiga yang sesungguhnya bisa dilakukan untuk mengatasi defisit APBN adalah dengan memaksakan renegosiasi ulang kontrak-kontrak migas kita, sebagaimana dilakukan Rusia dan Venezuela. Sebagaimana kita tahu, kita masih memiliki sejumlah tambang yang bisa menghasilkan dolar. Tapi tambang-tambang dan sumur gas itu lebih banyak dikuasai asing. Ambil kasus Freeport. Saham kita di Freeport hanya 9,36 persen. Bayangkan. Kita yang memiliki lahan tersebut, tapi saham kepemilikan kita tidak lebih dari 10 persen. Sementara Freeport, perusahaan yang berbasis di Amerika dan sudah bercokol di Papua sejak 1967 itu, mengusasi 81.28 persen--dan akan menjadi 90.64 persen karena PT. Indocopper Investama selaku pemegam saham ketiga melepaskan sahamnya tahun kemaren.

Pada tahun 2007 kemaren, pemasukan Freeport ke Indonesia mencapai Rp 17 triliun, meliputi dividen, pajak dan sebagainya. Jika kepemilikan saham kita lebih dari 9.36 persen atau bisa menjadi mayoritas, maka bisa dibayangkan pemasukan kita dari Freeport bisa lebih dari Rp 20-an triliun. Itu baru Freeport. Belum perusahaan-perusahaan yang lain.

Namun pemerintah kita tidak punya nyali untuk melakukan renegosiasi kontrak. Padahal dalam perpanjangan kontrak Freeport 1991, disinyalir ada cacat hukum yang membuat kontrak bisa dibatalkan. Tapi tetap saja pemerintah tidak berani. Pemerintah tidak berani berhadapan dengan Amerika. Yang ironisnya kepengecutan itu dibungkus dengan argumen manis: kita tidak bisa melanggar kontrak yang sudah dibuat, dan jika kita melakukannya, kita akan kena sanksi di badan arbitrase internasional.

Absurd. Tidak bisa melanggar kontrak. Padahal di sisi lain, pemerintah selalu melanggar kontrak yang ia bikin, yaitu janji-janji yang ia buat semasa pemilu. Dan apa benar pembatalan akan lebih merugikan kita karena sanksi arbitrase? Tidak juga. Rusia dan Venezuela contohnya. Rusia memaksakan renegosiasi dengan Shell, dan semua berjalan baik-baik saja. Venezuela juga. Upaya Venezuela untu memaksakan renegosiasi memang membuat Exxon Mobil dan ConocoPhilips hengkang dan mengajukannnya ke arbitrase interase internasional, tapi itu tidak cukup mempengaruhi ekonomi negara tersebut. Venezuela terbukti bangkit ekonominya, karena adanya peningkatan pemasukan dari migas. Rusia juga. Meski Indonesia berbeda dengan Rusia dan Venezuela, di mana kedua negara tersebut merupakan salah satu penghasil minyak dan gas terbesar di dunia.

Meski bukan merupakan negeri penghasil minyak, di mana lifting minyak kita hanya 910 ribu barel per hari (di bawah standar OPEC), tapi kita adalah negara penghasil gas terbesar di Asia Tenggara. Seharusnya, seperti Rusia, kita bisa menghasilkan pemasukan yang signifikan dari pengelolaan ladang gas. Tapi alih-alih memaksimalkan pemasukan dari ladang minyak dan gas, kita justru menyerahkan aset-aset tersebut ke swasta, yang membuat negara kehilangan potensi pemasukan dalam jumlah miliaran dolar. Bahkan dalam posisi yang demikian, kita masih sering mendengar korupsi di Pertamina atau PLN, dua institusi yang paling banyak menerima dana subsidi.

Hal keempat yang mestinya dilakukan untuk menyelamatkan APBN adalah penghapusan utang. Saat ini, utang Indonesia lebih dari Rp 1.300 triliun, dan cicilan bunga utang yang ditanggung APBN 2008 sebesar Rp 94 triliun. Jika pemerintah berani mengajukan penghapusan utang seperti yang dilakukan presiden Argentina Nestor Kirchner pada tahun 2005, niscaya APBN akan longgar. Argumen bahwa penghapuskan utang menurunkan kredibilitas Indonesia dan membuat investor lari tidak terbukti dalam kasus Argentina. Investasi di Argentina tetap jalan, dan anggaran mereka jauh lebih sehat, karena utang meraka terhapus Rp 600-an triliun. Dan untuk menghapus utang 600 triliun itu, Kirchner hanya bilang, “Kami tak sanggup lagi membayar utang.”

1 comment:

  1. Di Jerman, harga bensin juga naek drastis Vic. Bedanya, di Jerman, aku masih bisa beli 2 kotak susu segar dengan harga 1 liter bensin. Terus, bisa juga beli 1 kilo daging dengan harga 3 liter bensin. Kalo di Indo??? Ini bukan berarti kalo harga bensin di Indo itu murah banget. Justru kebalik, harga2 kebutuhan pokok di Indo mahal banget!!! Makanya jangan heran kalo gue suka ngeluh sama harga2 di Indo.

    Sori perhitungannya emak2 banget :D. Maklum ya, udah emak2, jadi pikirannya ke urusan dapur terus :D.

    ReplyDelete